1. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Yup! Don’t forget that BOD stands for biochemical oxygen demand, NOT biological oxygen demand.
BOD menyatakan banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroba untuk
mengoksidasi zat-zat organik dalam proses metabolisme mereka (secara biokimia).
Nilai BOD biasanya digunakan dalam sistem yang menggunakan proses biologi dalam
pengolahan limbahnya. Perlu diingat disini bahwa keberadaan mikroorganisme
merupakan faktor mutlak dalam pengukuran BOD. Mikroorganisme yang dipakai dalam
analisis BOD biasa disebut dengan seed.
Adanya mikroorganisme berarti diperlukan
inkubasi. Lamanya inkubasi tergantung dari nilai BOD yang dikehendaki, ada yang
5, 7, 10, bahkan 20 hari. Pada umumnya, nilai BOD yang digunakan di dalam
pengolahan air limbah adalah BOD5, yaitu BOD yang diperoleh setelah
inkubasi selama 5 hari. Meskipun BOD5 merupakan nilai yang paling umum dipakai,
mereka yang menghendaki terjadi nitrifikasi di dalam prosesnya memerlukan waktu
inkubasi yang lebih lama (bisa 6 hingga 10 hari). Hal ini karena bakteri yang
bekerja dalam proses nitrifikasi memiliki laju pertumbuhan yang rendah, yaitu
antara 6 hingga 10 hari (Metcalf&Eddy, 2004).
Keterlibatan mikroorganisme menjadi
salah satu keterbatasan dalam analisis BOD. Bekerja dengan mikroorganisme
berarti kita harus menyediakan lingkungan yang sesuai agar bakteri-bakteri
tersebut tetap dapat bertahan selama waktu inkubasi. Toxic material is a big
no-no in BOD test. Apabila akan menganalisis BOD pada air limbah yang memiliki
kandungan toksik maka diperlukan aklimatisasi (adaptasi) terlebih dahulu.
Keterbatasan lain dari analisis BOD adalah perlunya waktu inkubasi yang lama
sehingga hasil analisis baru dapat diketahui setelah waktu inkubasi selesai.
2. Chemical Oxygen Demand (COD)
Parameter yang satu ini menyatakan kebutuhan
oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi zat-zat organik di dalam air limbah
menggunakan dikromat sebagai oksidator. Analisis COD diawali dengan proses
digestion kemudian dilanjutkan dengan pengukuran nilai COD itu sendiri.
Pengukuran nilai COD dapat diketahui melalui titrasi atau dengan menggunakan
spektrofotometer. Berbeda dengan BOD, pada COD tidak perlu dibedakan apakah zat
organik tersebut dapat didegradasi secara biologis atau tidak. Di lapangan,
banyak operator yang lebih memilih menggunakan parameter COD. Hal ini karena
pengukuran COD tidak melibatkan mikroorganisme sehingga tidak terpengaruh oleh
material yang bersifat toksik. Selain itu analisis COD membutuhkan waktu yang
jauh lebih singkat dibanding BOD.
Walaupun sebenarnya BOD dan COD merupakan
parameter yang berbeda, banyak juga orang yang salah kaprah dengan mengkonversi
nilai COD dengan faktor pengali tertentu (biasanya sebesar 0,5) untuk
memperoleh nilai BOD. Sebenarnya, faktor pengali 0,5 tersebut tidak berlaku
untuk semua jenis limbah dan sangat berbeda antara satu IPAL dengan yang
lainnya. Untuk memperoleh suatu faktor pengali (ummm, mungkin lebih tepat kalau
disebut sebagai rasio), perlu dilakukan sederetan pengukuran COD dan BOD
kemudian dilihat kecenderungannya. Angka 0,5 (atau rasio BOD:COD sebesar 1:2)
umumnya terjadi di IPAL yang mengolah limbah domestik. Nah, untuk IPAL industri
rasionya bisa jauh berbeda dan sangat bervariasi antara industri yang satu
dengan yang lainnya sehingga rasio 1:2 tidak dapat menjadi patokan.
3. Total Organic Carbon (TOC)
TOC merupakan parameter yang menyatakan
jumlah total karbon organik (oke, dari kepanjangannya sudah cukup jelas
bukan?). Berbeda dengan COD dan BOD yang mengukur jumlah oksigen yang
diperlukan untuk mengoksidasi zat-zat organik, TOC mengukur jumlah karbon yang
berasal dari senyawa organik. Jadi, karena merupakan hal yang berbeda, analisis
TOC tidak dapat digunakan untuk memperoleh nilai BOD maupun COD. Analisis TOC
dapat dipakai untuk menggantikan analisis BOD maupun COD hanya apabila tersedia
data valid yang menunjukkan hubungan antara keduanya. Dalam hal ini, analisis
TOC hanya berfungsi sebagai proses kontrol karena memiliki beberapa keunggulan
dibanding BOD dan COD. Keunggulan analisis TOC diantaranya waktu analisis yang
lebih singkat (hanya 5 hingga 10 menit) serta saat ini telah banyak di pasaran
alat-alat TOC analyser yang dapat mengukur TOC secara kontinyu.
4. UV-absorbing Organic Constituents
Zat-zat organik tertentu di dalam air limbah
memiliki kemampuan yang tinggi dalam penyerapan sinar UV (ultraviolet). Zat-zat
tersebut antara lain humus, lignin, tannin, dan berbagai senyawa aromatic
lainnya. Analisis UV-absorbing organic constituents disebut juga sebagai
UV254nm. Hal ini karena pembacaan pada spektrofotometer dilakukan pada panjang
gelombang 254nm yang termasuk ke dalam panjang gelombang sinar UV. Contoh
penggunaan analisis UV254nm adalah di industri penyamakan kulit untuk
menganalisis kandungan tannin. Hal ini disebutkan di dalam satu publikasi yang
dapat dilihat di sini.
Pada postingan sebelumnya, saya menulis
sedikit informasi tentang sludge bulking. Kali ini saya ingin berbagi informasi mengenai
metode untuk mengontrol/mengatasi sludge bulking. Dalam mengatasi sludge
bulking ada dua pendekatan yang bisa kita gunakan, non-spesifik dan spesifik.
Metode pengontrolan sludge bulking
non-spesifik
Beberapa metode pengontrolan non-spesifik
antara lain pengaturan debit RAS (return activated sludge), penambahan bahan
kimia, dan desinfeksi. Metode non-spesifik ini bersifat sementara, maksudnya
fenomena bulking dapat terjadi apabila perlakuan-perlakuan tersebut sudah tidak
dilakukan lagi.
1. Pengaturan
debit RAS (return activated sludge).
Hal ini dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan debit RAS untuk mencegah solid wash out ke saluran efluen.
2. Penambahan
bahan kimia untuk meningkatkan laju pengendapan solid.
Bahan kimia yang digunakan biasanya dari
kelompok polimer. Polimer dapat membantu proses pengendapan solid seperti
halnya pada proses koagulasi-flokulasi. Namun, karena harganya yang mahal,
penggunaan polimer biasanya digunakan hanya pada situasi darurat.
3. Pemberian
desinfektan untuk membasmi organisme filamentous.
Desinfektan yang paling umum digunakan adalah
klorin. Pemberian dosis klorin harus dilakukan secara tepat sehingga dapat
membasmi mikroorganisme filamentous namun tidak membahayakan
organisme-organisme pembentuk flok.
Metode spesifik
Dalam mengaplikasikan metode-metode spesifik
untuk mengatasi sludge bulking, diperlukan pengetahuan dalam penyebab sludge
bulking itu sendiri. Beberapa penyebabnya antara lain kurangnya nutrien,
konsentrasi oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) yang rendah, dan
konfigurasi tangki aerasi.
1. Kurangnya
nutrien
Di dalam proses activated sludge (dan proses
pengolahan biologi lainnya), dua sumber nutrien yang utama (makronutrien) yaitu
nitrogen (N) dan phosphorus (P). Secara umum, rasio makronutrien yang digunakan
adalah 100:5:1 (BOD:N:P) sehingga apabila rasio N atau P kurang dari ini maka
dapat kita katakan bahwa terjadi defisiensi nutrien di dalam proses. Kita dapat
mengetahui rasio ini dengan analisis kimiawi air limbah (analisis nilai BOD,
konsentrasi N dan P) atau dengan analisis mikrobiologi. Dengan analisis
mikrobiologi, sludge bulking akibat kurangnya nutrien ditandai antara lain
dengan adanya mikroba filamentous tipe 021N (Thiothrix spp., S. natans, H. hydrossis, dan
N. limicola III),
penampakan activated sludge yang viscous, dan foam pada clarifier maupun tangki
aerasi yang mengandung material eksoseluler dalam jumlah yang signifikan.
Untuk mengatasi bulking akibat defisiensi
nutrien tentunya dengan memenuhi kebutuhan nutrien itu sendiri. Rasio 100:5:1
dapat digunakan sebagai acuan karena penambahan nutrien juga tidak boleh
berlebihan agar tidak terjadi toksifikasi pada sistem. Perlu diperhatikan bahwa
kebutuhan makronutrien dapat dipengaruhi oleh temperatur dan umur lumpur
(sludge age). Pada temperatur yang rendah kebutuhan makronutrien akan lebih
tinggi. Sistem dengan umur lumpur yang panjang akan memerlukan makronutrien
lebih sedikit karena terdapat resirkulasi makronutrien akibat adanya lisis.
Pemantauan konsentrasi N dan P di dalam tangki aerasi tidak kalah pentingnya
dengan pemantauan pada efluen.
2. Rendahnya
konsentrasi oksigen terlarut
Untuk setiap rasio F/M yang digunakan, rendahnya
DO dapat memicu pertumbuhan organisme filamentous penyebab sludge bulking. Dari www.dec.ny.gov disebutkan bahwa secara umum, untuk rasio
F/M hingga 0.5 konsentrasi DO sebesar 2 mg/L perlu dijaga. Kita tentu tidak mau
menambahkan oksigen terlalu banyak ke dalam tangki karena biaya operasionalnya
akan menjadi sangat tinggi.
Masalah bulking akibat rendahnya DO ini bisa
menjadi sangat tricky karena berkaitan erat dengan rasio F/M. Kebutuhan oksigen
di dalam tangki meningkat bersamaan dengan meningkatnya rasio F/M. Jika kita
tidak dapat meningkatkan konsentrasi DO, maka kita harus menurunkan rasio F/M
dengan cara meningkatkan konsentrasi MLSS (memperbesar faktor M –
mikroorganisme). Akan tetapi, menurunkan F/M dapat berakibat pada peningkatan MCRT yang berakibat pada
meningkatnya kebutuhan oksigen untuk respirasi endogenous. Apabila masalah
seperti ini ditemukan, maka cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi bulking
adalah tetap mengoperasikan pada DO rendah dan melakukan klorinasi untuk
membasi organisme filamentous. Hal lain yang dapat dilakukan yaitu dengan
penggunaan selector.
3. Konfigurasi
tangki aerasi
Sistem yang dioperasikan secara kontinyu dan
teraduk secara sempurna (completely mixed) biasanya memiliki karakteristik
pengendapan yang lebih rendah dibandingkan sistem yang dioperasikan secara
intermiten atau yang memiliki tangki aerasi dengan kompartemen-kompartemen.
Mengapa demikian? Karena pada sistem yang tercampur sempurna akan terjadi
pencampuran antara influen dengan RAS (return activated sludge) yang
menciptakan influen dengan konsentrasi yang tinggi. Mikroba penyebab bulking
(pin-floc organism) memiliki kemampuan bioadsorpsi yang tinggi sehingga mereka
akan “menghabiskan” substrat terlebih dahulu dan memenangkan kompetisi
pertumbuhan dengan mikroorganisme lainnya. Untuk mengatasi hal ini biasanya
dipasang selector.
Konfigurasi tangki aerasi dengan selector
memungkinkan mikroorganisme pembentuk flok untuk tumbuh dan mncegah pertumbuhan
mikroorganisme-mikroorganisme penyebab bulking. Pemasangan selector pada tangki
aerasi sebenarnya melakukan pembagian zona pada tangki dan melakukan modifikasi
konsentrasi oksigen pada zona-zona tersebut.
Nah,
semoga informasi di atas memberi pencerahan untuk mereka yang ingin mengetahui
cara-cara mengatasi sludge bulking.
Informasi
yang saya tulis di atas saya peroleh dari sumber-sumber berikut:
1.
Richard, M. G., Daigger, G. T., & Jenkins, D. (2004). Manual on the
causes and control of activated sludge bulking, foaming, and other solids
seperation problems [3rd ed, pp 77-130]. doi: 10.1201/9780203503157.ch4
Video lagi…
Kali ini saya tampilkan video mengenai MBBR yang saya ambil dari waterworld.com
Kali ini saya tampilkan video mengenai MBBR yang saya ambil dari waterworld.com
Eits, jangan salah…MBBR di sini tidak ada
hubungannya dengan MBR (membrane bioreactor). Yang dimaksud MBBR di sini yaitu
Moving Bed Biofilm Reactor. MBBR ini termasuk dalam kelompok attached growth
reactor, yaitu reaktor dimana mikrobiologi tumbuh di permukaan media tertentu
kemudian membentuk lapisan film yang berfungsi sebagai semacam filter untuk air
limbah. Media yang ditampilkan dalam video ini terbuat dari plastik. Plastik
yang bukan sembarang plastik, tetapi plastik yang bentuknya didesain sedemikian
rupa sehingga menyediakan luas permukaan yang besar untuk tumbuhnya mikroba.
Contoh attached growth reactor lainnya misalnya trickling filter dan rotating
biological contactor (RBC). Yang menarik dari MBBR yaitu operasionalnya dapat
digabungkan dengan lumpur aktif konvensional (conventional activated sludge,
CAS) untuk meningkatkan performa sistem yang telah ada.
Sludge bulking adalah suatu kondisi dimana
solid sukar untuk mengendap sehingga proses pemisahan solid dan liquid menjadi
sangat sulit. Pada kondisi seperti ini maka solid dapat terbawa ke saluran
efluen dan menyebabkan penurunan kualitas efluen. Sludge bulking merupakan
salah satu masalah utama yang ditemukan pada sistem lumpur aktif.
Mengapa Sludge Bulking Menjadi Masalah?
Masalah utama dari sludge bulking yaitu
penurunan kualitas efluen akibat tingginya konsentrasi solid di aliran efluen.
Selain itu, akibat solid yang susah mengendap maka penetapan resirkulasi lumpur
pada sistem (return activated sludge, RAS) juga akan menjadi sulit. Hal ini
dapat mengganggu proses kontrol pada sistem lumpur aktif
Apa Yang Menyebabkan Terjadinya Sludge
Bulking?
Penyebab utama sludge bulking adalah
tumbuhnya koloni mikroorganisme berfilamen (filamentous microorganisms).
Mikroorganisme dari kelompok ini memiliki karakteristik dimana koloninya sulit
untuk membentuk flok. Padahal, proses pembentukan flok-flok dari bakteri sangat
penting dalam pengendapan solid.
Penyebab lain yaitu kurangnya nutrien (baik
nitrogen maupun phosphorus) sehingga mikroorganisme menjadi stress dan
memproduksi lipopolisakarida secara berlebih. Produksi lipopolisakarida pada
dinding sel bakteri yang berlebihan dapat menyebabkan terbentuknya lapisan
lender (slime) sehingga flok sulit untuk mengendap akibat densitasnya menjadi
rendah. Sludge bulking akibat terbentuknya slime disebut juga dengan istilah
slime bulking atau viscous bulking.
Ada juga bulking yang disebabkan oleh
terbentuknya pin floc. Pin floc merupakan flok yang berukuran sangat kecil
(diameter <50mm). Pin floc terbentuk antara lain akibat rasio F/M yang
sangat rendah, umur lumpur yang terlalu lama, atau toksisitas berkepanjangan.
Bagaimana Cara Mengetahui Sludge Bulking?
Selain dengan pengamatan visual, fenomena
sludge bulking juga dapat diketahui dengan mengukur sludge volume index (SVI).
SVI merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui kemampuan pengendapan
solid. Analisis SVI dilakukan dengan cara mengendapkan 1 liter air limbah yang
berasal dari tangki aerasi selama 30 menit di dalam gelas ukur. Volume lumpur
yang dapat mengendap kemudian diukur dan nilai SVI-nya dihitung menggunakan
rumus:
Nilai SVI > 150 biasanya perlu perhatian
khusus. Akan tetapi, karena karakteristik air limbah di tiap instalasi
berbeda-beda maka nilai SVI pun dapat berbeda antara limbah yang satu dengan
yang lainnya.
Sumber:
I got this article couple of months ago from
an online magazine. This is a good reference for those who are working with membrane bioreactor. The PDF version of this article can be
downloaded here .
|
Knowledge
|
Principle
|
A practical consideration
|
|
Membrane bioreactor (MBR)
|
This process is a combination of
biological treatment (activated sludge) and membrane filtration (instead of a
clarifier).
|
An MBR can satisfy the needs of
activated sludge treatment, including biological nutrient removal, without
worrying about settling issues.
|
|
Membrane
|
A thin sheet of porous material.
The porous medium is configured to provide highly efficient filtration of
mixed liquor.
|
The pore size on this “filter” for
most MBRs is 0.04 to 0.2 μm (microns).
|
|
Membrane configurations
|
Membranes may be configured in
several ways, including
|
Fibers and plates generally hang
suspended in the mixed liquor, and the air scour causes movement of the media
and cleaning. Disks are semirigid and may not require as much air for
cleaning.
|
|
Micron (μm)
|
1/1,000,000 of a meter or 1/1000
of a millimeter
|
The pore size for the filters used
in bacteriological analyses is 0.45 μm. (Most membranes will prevent the
passage of bacteria.)
|
|
Pore size
|
Pore size is the average opening
(pore) in the membrane. Most MBRs are in the range of ultrafiltration.
|
Ranges of relative pore sizes for
filtration area include
|
|
Flux
|
Flux is the throughput of the
membrane. It is based on rate of flow per unit of surface area, per unit
time.
|
The typical range for flux rate
may be 370 to 775 L/m2•d (9 to 19 gal/ft2•d). The
effective surface area varies based on the membrane configuration.
|
|
Transmembrane pressure (TMP)
|
TMP expresses the pressure
differential between the outside and inside of the membrane, similar to head
loss.
|
A rise in TMP indicates an
increase in fouling (clogging pores) or an increase in flux rate
(throughput).
|
|
Basics of operation
|
To ensure best operation of the
MBR system, some unique operations will be needed, including
|
|
|
Membrane cleaning
|
Just as filters must be backwashed
to remove solids from the media, membranes require similar actions, including
· air scour,
· resting mode
(or back-pulse),
·
clean-in-place, and
· chemical
cleaning.
|
All membranes require one or more
of the cleaning methods. Cleaning methods vary with configuration and
membrane type.
|
|
Typical results
|
Parameter performance
BOD: <2 mg/L
TSS: <0.5 mg/L
NH3–N: <0.5 mg/L
TN: <3 mg/L
TP: <0.05 mg/L
Turbidity: <0.2 NTU
Fecal coliform: <10 CFU per 100 mL
|
Note that reduction of nitrogen
and phosphorus will depend on proper operation of specific nutrient removal
processes.
Even though most membranes will filter out fecal coliform,
disinfection is required by regulatory authorities.
|
|
Motive force
|
Some MBR systems will require a
reduction in the downstream pressure to achieve the necessary flux rate. This
force can be from
· pump suction,
· vacuum assist,
or
· gravity.
|
MBR systems may require pumps,
vacuum systems, or gravity to force the liquid to flow through the tiny
pores. The amount of force needed will vary with configuration and system
type.
|
|
Associated operational issues and
limitations
|
Operators should consider the
following issues when working with MBRs:
· stormwater
flow control,
· membrane
monitoring and cleaning, and
· equipment
maintenance.
|
·
High flows will require flow leveling, equalization, or a scalping operation.
· Membranes will
age and require various cleaning methods and eventual replacement.
· An MBR’s
support systems will require additional monitoring and maintenance.
|
Pada postingan sebelumnya saya menulis
tentang penelitian di India yang mengaplikasikan reaktor UASB dalam pengolahan
limbah pewarna tekstil. Sebenarnya UASB itu reaktor seperti apa sih? Nah, kali
ini saya akan berbagi informasi mengenai reaktor yang satu ini.
UASB merupakan singkatan dari Upflow
Anaerobic Sludge Blanket. Dari namanya kita sudah bisa mengetahui bahwa reaktor
ini merupakan reaktor anaerob, a.k.a pada operasinya pengolahan limbah dibantu
dengan bakteri-bakteri anaerob. Menurut Dictionary of Food Science and
Technology, UASB merupakan reaktor dimana pengolahan secara anaerob dilakukan
oleh mikroorganisme yang membentuk flok tersuspensi di bagian bawah reaktor.
Air limbah masuk dari bagian bawah reaktor
lalu dialirkan secara vertikal ke atas. Air limbah pertama-tama akan melewati
suatu lapisan yang dinamakan sludge bed. Pada lapisan ini air limbah yang masuk
akan mengalami kontak dengan mikroba anaerob yang berbentuk granula (pellet)
yang menyusun sludge bed tersebut. Biogas yang terbentuk dari metabolisme
anaerob akan bergerak ke atas dan mengakibatkan terjadinya proses vertical
mixing di dalam reaktor. Dengan demikian, tidak diperlukan alat mekanik untuk
pengadukan di dalam reaktor.
Pada bagian atas reaktor terdapat dua jenis
saluran, yaitu saluran untuk mengeluarkan limbah hasil olahan (efluen) serta
saluran untuk mengeluarkan biogas. Karena gas dan efluen bergerak ke atas, maka
diperlukan suatu struktur untuk menahan granula agar tidak ikut terbawa ke
aliran efluen. Struktur inilah yang dinamakan Gas-Liquid-Solid separator
(GLSS).
Sumber: www.uasb.org/discover/agsb.htm
Menurut Anh (2004), GLSS merupakan bagian
penting dari UASB karena memiliki fungsi sebagai berikut:
· Mengumpulkan, memisahkan,
dan mengeluarkan biogas yang terbentuk
· Mengurangi turbulensi di
dalam kompartemen pengendapan yang terjadi akibat pembentukan gas
· Memungkinkan terjadinya
pemisahan lumpur secara sedimentasi, flokulasi, atau terperangkap di dalam
sludge blanket
· Membatasi ekspansi sludge
bed
· Mencegah terjadinya
wash-out lumpur (terbawanya lumpur ke aliran efluen)
Sumber:
1. Anh, Nguyen
Tuan,(2004).Methods for UASB Reactor Design.Guest Article by Nguyen Tuan
Anh. (http://www.waterandwastewater.com/www_services/ask_tom_archive)
2.
International Food Information Service (2009). Dictionary of Food Science and
Technology (2nd
Edition). (pp: 438). International Food Information Service (IFIS
Publishing).
Limbah dari industri pewarna tekstil
merupakan salah satu sumber toksik terbesar di India. Pencemaran badan air oleh
limbah pewarna berikut proses degradasi warna yang terjadi di badan air dapat
mengganggu kehidupan biota air. Tiga peneliti dari Departement of Civil Engineering
dan Departement of Chemical di Annamalai University di India melakukan riset
untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam riset yang dilakukan, air limbah
pewarna tekstil diolah menggunakan reaktor (pilot scale) Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) dua
tahap dengan memanfaatkan limbah sagu sebagai ko-substrat.
Tahap pertama dari reaktor UASB yang
digunakan merupakan reaktor asidogenik sementara tahap kedua merupakan reaktor
metanogenik. Reaktor asidogenik dan metanogenik yang digunakan memiliki
perbandingan kapasitas volume 1:4. Tujuan penggunaan dua tahap ini adalah untuk
memantau operasional dan karakter performa dari UASB. Air limbah pertama-tama
dialirkan ke dalam reaktor asidogenik yang memiliki diameter internal 300 mm
dan tinggi 820 mm. Setelah itu, air limbah dialirkan ke reaktor kedua, yaitu
reaktor metanogenik yang berdiameter internal 350 mm dan tinggi 2400 mm.
Bakteri yang digunakan di dalam reaktor UASB berasal dari reaktor anaerobic
sludge digester dari
pengolahan limbah sagu. Skema pengolahan dapat dilihat pada gambar 1.
Sumber: M. Senthilkumar, et
al (2011)
Pada bagian atas dari reaktor metanogenik
terdapat struktur yang dinamakan Gas-Liquid-Solid Separator (GLSS) yang
berfungsi untuk memisahkan biogas, solid, dan liquid. Dengan adanya struktur
ini biogas dan air hasil olahan akan keluar dari dalam reaktor sementara solid
akan tetap di dalam reaktor membentuk sludge blanket. Di dalam struktur GLSS
pada reaktor yang digunakan dalam riset ini, disediakan media yang terbuat dari
spiral-spiral PVC berukuran 26 mm. Media yang disusun hingga setebal 200mm pada
ketinggian 1770 mm dari dasar reaktor berfungsi sebagai media tumbuh biomassa
serta bermanfaat sebagai filter yang dapat meningkatkan kualitas efluen.
Pencampuran air limbah pewarna tekstil dan
sagu dilakukan dalam lima kombinasi, yaitu 90:10, 80:20, 75:25, 70:30, dan
65:35. Keuntungan yang diperoleh dari kombinasi kedua limbah ini adalah karena
adanya proses penetralan pH sehingga tidak diperlukan penambahan kaustik maupun
kapur. Selain itu, kandungan zat tepung di dalam limbah sagu dapat mengurangi
kebutuhan penambahan nutrien selama proses pengolahan. Karakteristik air limbah
pewarna tekstil dan sagu dapat dilihat pada Tabel 1 yang merupakan rata-rata
dari sepuluh sampel yang dikumpulkan selama tiga bulan.Hydraulic retention
time (HRT)
yang digunakan pada reaktor asidogenik adalah selama 6 jam, sementara pada
reaktor metanogenik selama 24 jam. Hal ini mengikuti perbandingan volume antara
kedua reaktor sebesar 1:4.
Sumber: M. Senthilkumar, et
al (2011)
Hasil riset dari pengolahan limbah pewarna
tekstil dapat dilihat pada Tabel 2.
Sumber: M. Senthilkumar, et
al (2011)
Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa
efisiensi penyisihan maksimum untuk COD dan warna adalah sebesar 88.5 dan 91.8
persen yaitu pada rasio limbah pewarna dan sagu sebesar 70:30. Pada rasio
optimum ini diperoleh rasio VFA/alkalinitas sebesar 0.04 yang mengindikasikan
bahwa reaktor bekerja dalam kondisi yang stabil.
Sumber:
M. Senthilkumar, G. Gnanapragasam, V.
Arutchelvan, S. Nagarajan, Treatment of textile dyeing wastewater using two-phase
pilot plant UASB reactor with sago wastewater as co-substrate, Chemical Engineering
Journal, Volume 166, Issue 1, 1 January 2011, Pages 10-14.
Membrane bioreactor (MBR) merupakan suatu
sistem pengolahan air limbah yang mengaplikasikan penggunaan membran yang
terendam di dalam bioreaktor. Proses yang terjadi di dalam bioreaktor mirip
dengan lumpur aktif konvensional (conventional activated sludge, CAS), di mana zat organic
di dalam air limbah akan didegradasi secara biologis oleh mikroorganisme aerob
kemudian terjadi pemisahan solid (lumpur). Bedanya, pada MBR proses pemisahan
solid dilakukan menggunakan membran sementara pada CAS pemisahan solid
dilakukan secara gravitasi di dalam tangki pengendap. Perbandingan antara MBR
dengan CAS dapat dilihat pada gambar berikut:
Sumber: Li, Norman N.;
Fane, Anthony G.; Ho, W.S. Winston; Matsuura, T. (2008)
Beberapa fitur utama dari MBR antara lain:
1. Tidak
memerlukan bak pengendap (clarifier) sehingga dapat menghemat penggunaan lahan
2.
Konsentrasi MLSS (mixed liquor suspended solids) yang tinggi dapat memaksimalkan jumlah BOD
yang masuk ke dalam modul MBR untuk diolah sehingga dapat mengurangi waktu
pengolahan
3.
Pembuangan lumpur dapat dilakukan langsung dari dalam reaktor
4.
Kualitas efluen hasil pengolahan yang tinggi sehingga air hasil olahannya dapat
digunakan kembali (misal untuk boiler)
Penggunaan modul MBR dalam pengolahan air
limbah saat ini cukup luas di negara-negara dimana faktor ketersediaan lahan
dan konservasi air menjadi pertimbangan. Bagi negara-negara yang lahannya
terbatas, teknologi ini akan sangat menguntungkan. Begitu pula jika di tempat
tersebut terdapat keterbatasan dalam sumber daya air, hasil olahan dari MBR
dapat digunakan sebagai sumber air (contohnya di Singapura). Di Indonesia
sendiri tampaknya teknologi membran belum terlalu banyak digunakan mengingat
ketersediaan lahan dan sumber air masih bisa dibilang cukup banyak.
Akan tetapi, jika kita memikirkan kondisi di
masa datang dimana pertumbuhan penduduk semakin meningkat dan lahan akan
semakin mahal, maka teknologi MBR mungkin sebaiknya mulai diterapkan. Memang
MBR memiliki kelemahan dari segi harga, teknologi membran memang bukan
teknologi yang murah. Selain harganya yang mahal, juga diperlukan operator yang
terlatih (berdampak pada upah pekerja yang lebih tinggi). Dari segi
operasional, akan diperlukan regular chemical cleaning serta laju kerusakan
membran tidak dapat dipastikan.
Kondisi yang diperlukan untuk modul MBR
Modul MBR yang akan digunakan harus memiliki
kelebihan dari sisi cost reduction (baik investasi maupun operasional), usia
pakai yang cukup lama, serta mudah ditangani. Berikut ini kondisi-kondisi yang
penting untuk diperhatikan dalam penggunaan modul MBR:
1. Kuat
menahan beban fisik (akibat aerasi) maupun kimiawi (akibat proses pembersihan
dengan bahan kimia).
2.
Struktur membran haruslah kuat untuk mengatasi gaya gesekan dan osilasi dari
gelembung udara dari proses aerasi.
3. Aerasi
harus efektif dan uniform serta aliran vertikal gelembung udara dari bawah ke
atas membran harus berlangsung tanpa hambatan.
Konfigurasi MBR
Terdapat dua konfigurasi MBR yang tergantung
pada letak membran terhadap bioreaktor, yaitu submerged MBR dan sidestream MBR.
Sumber: Malia dan Till
(2001)
Pada submerged MBR, membran terletak di dalam
bioreaktor sehingga proses filtrasi langsung dilakukan di dalam reaktor.
Sementara itu, pada sidestream MBR proses filtrasi dilakukan di luar bioreaktor
melalui aliran resirkulasi. Perbandingan antara kedua konfigurasi MBR dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 1 : Perbandingan Submerged MBR dan
Sidestream MBR
|
Submerged
MBR
|
Sidestream
MBR
|
|
|
Biaya
aerasi
|
Tinggi
|
Rendah
|
|
Biaya
pemompaan
|
Sangat
rendah, kecuali jika digunakan pompa hisap
|
Tinggi
|
|
Ukuran
(footprint)
|
Lebih
besar
|
Lebih
kecil
|
|
Kebutuhan
untuk proses pembersihan
|
Lebih
sedikit
|
Lebih
tinggi
|
|
Biaya
operasional
|
Lebih
rendah
|
Lebih
tinggi
|
|
Biaya investasi
|
Lebih tinggi
|
Lebih rendah
|
Sumber: Malia dan Till (2001)
Referensi :
Li, Norman N.; Fane, Anthony G.; Ho, W.S.
Winston; Matsuura, T. (2008). Advanced Membrane Technology and Applications. (Chapter 5 &
9). John Wiley & Sons.
Malia, H. dan Till, S. (2001). Membrane Bioreactors:
Wastewater Treatment Applications To Achieve High Quality Effluent. (http://www.wioa.org.au/conference_papers/2001/pdf/paper8.pdf)
Secondary clarifier merupakan bagian tak
terpisahkan dari sistem activated sludge. Bagian ini berperan dalam proses pemisahan
lumpur dari limbah yang telah diolah di dalam reaktor biologi. Ada lima
parameter yang paling berpengaruh terhadap performa secondary
clarifier,
yaitu:
1. konsentrasi MLSS yang masuk ke clarifier,
2. debit air limbah,
3. debit resirkulasi system activated sludge,
4. luas permukaan clarifier, dan
5. kemampuan mengendap lumpur.
Keempat parameter pertama mempengaruhi SLR (solid loading rate) clarifier. SLR menyatakan jumlah
solid per satuan luas permukaan clarifier per hari. SLR dihitung dengan rumus:
SLR = (Qww + QRAS) x (MLSS)
x (conversion factor/SA)
SLR = solids loading rate , kg/m2.hari
Qww = debit air limbah, m3/hari
QRAS = debit resirkulasi sistem activated sludge,
m3/hari
MLSS = konsentrasi MLSS , mg/L
SA = luas permukaan clarifier, m2
Conversion factor = (0.0001 kg/m3)
/ (mg/L)
Ketebalan lumpur (sludge blanket) juga harus diperhatikan.
Kedalaman sludge blanket sebaiknya diukur setidaknya satu hingga tiga
kali sehari. Lapisan lumpur yang terlalu tinggi akan mempengaruhi kualitas
efluen. Hal lainnya yang perlu diperhatikan yaitu debit resirkulasi (return activated
sludge,
RAS). Jika tidak ada lumpur yang diresirkulasi ke reaktor biologi maka akan
terjadi penumpukan lumpur dan pada akhirnya dapat keluar ke efluen. Dengan kata
lain hasil pengolahan akan sia-sia.
Sebaliknya, jika debit resirkulasi terlalu
tinggi akan menyebabkan lumpur tidak sempat mengendap di dalam clarifier. Hal ini akan
menghilangkan esensi pengolahan, tidak ada solid yang diendapkan. Debit
resirkulasi biasanya ditentukan sebagai persentasi debit air limbah yang masuk
ke dalam tangki aerasi.
Pada sistem yang memiliki MCRT pendek dan
produksi lumpur sedikit, debit RAS biasanya 25 hingga 50 persen dari debit air
limbah (30-40% paling umum). Untuk sistem dengan MCRT yang lebih panjang dan
produksi lumpur yang relative banyak, debit RAS dapat mencapai 100-150% dari
debit air limbah yang masuk ke tangki aerasi.
Referensi: Water Environment Federation
(2008). Operation of Municipal Wastewater Treatment Plants – MOP 11, (6th
Edition).. WEF + McGraw-Hill.
Sebagai lanjutan dari postingan sebelumnya,
kali ini saya akan menjabarkan cara mengontrol prosesactivated sludge dengan melakukan pemantauan
konsentrasi oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO). Memantau konsentrasi
DO sudah pasti sangat berkaitan dengan aerasi. Aerasi yang dimaksud di sini
mencakup suplai oksigen serta metode pelarutan oksigen ke dalam sistem activated
sludge (mixing).Mixing dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Akan tetapi, dalam sistem activated sludge selalu diperlukan aerasi
secara mekanik karena laju aliran gas oksigen murni yang masuk ke dalam sistem
terlalu lambat sehingga sulit untuk menyeragamkan konsentrasi di dalam tangki
(lihat juga postinganAerasi Di Dalam Pengolahan Limbah Cair).
Sebagai rule of thumb, kebutuhan oksigen
dikatakan terpenuhi apabila konsentrasi DO di dalam reaktor biologi mencapai
minimal 2 mg/L. Memang hal ini bisa saja berubah, tergantung kondisi limbah
masing-masing instalasi. Saat konsentrasi DO berada di bawah nilai optimalnya,
indikator pertama adalah munculnya bakteri berbentuk filamen dalam jumlah yang
signifikan di dalam tangki aerasi. Komposisi mikroba akan didominasi oleh
bakteri jenis ini sehingga mempengaruhi kemampuan lumpur untuk mengendap.
Selama lumpur masih dapat dipisahkan dari efluen (di clarifier) maka masalah masih dapat
diatasi dengan “membasmi” bakteri filamentous tersebut. Jika konsentrasi DO
terus menurun, maka pertumbuhan bakteri filamen akan semakin meningkat lagi.
Kondisi lanjutan seperti ini dapat menurunkan efisiensi pengolahan karena
efluen akan menjadi keruh. Pada kondisi yang lebih parah, lumpur dapat berubah
warna menjadi kehitaman dan akan muncul bau busuk akibat kondisi tangki yang
telah berubah menjadi anaerob.
Pengamatan visual merupkan indikator yang
baik, akan tetapi akan lebih baik lagi jika pemantauan konsentrasi DO dan
kualitas efluen dilakukan sebagai tindakan pencegahan. Perlu diingat, peralatan
yang dipakai untuk pemantauan DO tidak bisa diremehkan. Selalu gunakan alat
ukur yang terawat dengan baik, bersih, dan rutin dikalibrasi untuk menjamin
akurasi pengukuran. Memberi aerasi semaksimal mungkin memang akan menjamin
tersedianya oksigen di dalam tangki. Namun, hal ini akan berdampak besar pada
tingginya biaya operasional instalasi.
Referensi: Water Environment Federation
(2008). Operation of Municipal Wastewater Treatment Plants – MOP 11, (6th
Edition).. WEF + McGraw-Hill.





