Kamis, 23 Januari 2014

materi pengolahan limbah

1. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Yup! Don’t forget that BOD stands for biochemical oxygen demand, NOT biological oxygen demand. BOD menyatakan banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroba untuk mengoksidasi zat-zat organik dalam proses metabolisme mereka (secara biokimia). Nilai BOD biasanya digunakan dalam sistem yang menggunakan proses biologi dalam pengolahan limbahnya. Perlu diingat disini bahwa keberadaan mikroorganisme merupakan faktor mutlak dalam pengukuran BOD. Mikroorganisme yang dipakai dalam analisis BOD biasa disebut dengan seed.
Adanya mikroorganisme berarti diperlukan inkubasi. Lamanya inkubasi tergantung dari nilai BOD yang dikehendaki, ada yang 5, 7, 10, bahkan 20 hari. Pada umumnya, nilai BOD yang digunakan di dalam pengolahan air limbah adalah BOD5, yaitu BOD yang diperoleh setelah inkubasi selama 5 hari. Meskipun BOD5 merupakan nilai yang paling umum dipakai, mereka yang menghendaki terjadi nitrifikasi di dalam prosesnya memerlukan waktu inkubasi yang lebih lama (bisa 6 hingga 10 hari). Hal ini karena bakteri yang bekerja dalam proses nitrifikasi memiliki laju pertumbuhan yang rendah, yaitu antara 6 hingga 10 hari (Metcalf&Eddy, 2004).
Keterlibatan mikroorganisme  menjadi salah satu keterbatasan dalam analisis BOD. Bekerja dengan mikroorganisme berarti kita harus menyediakan lingkungan yang sesuai agar bakteri-bakteri tersebut tetap dapat bertahan selama waktu inkubasi. Toxic material is a big no-no in BOD test. Apabila akan menganalisis BOD pada air limbah yang memiliki kandungan toksik maka diperlukan aklimatisasi (adaptasi) terlebih dahulu. Keterbatasan lain dari analisis BOD adalah perlunya waktu inkubasi yang lama sehingga hasil analisis baru dapat diketahui setelah waktu inkubasi selesai.

2. Chemical Oxygen Demand (COD)
Parameter yang satu ini menyatakan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi zat-zat organik di dalam air limbah menggunakan dikromat sebagai oksidator. Analisis COD diawali dengan proses digestion kemudian dilanjutkan dengan pengukuran nilai COD itu sendiri. Pengukuran nilai COD dapat diketahui melalui titrasi atau dengan menggunakan spektrofotometer. Berbeda dengan BOD, pada COD tidak perlu dibedakan apakah zat organik tersebut dapat didegradasi secara biologis atau tidak. Di lapangan, banyak operator yang lebih memilih menggunakan parameter COD. Hal ini karena pengukuran COD tidak melibatkan mikroorganisme sehingga tidak terpengaruh oleh material yang bersifat toksik. Selain itu analisis COD membutuhkan waktu yang jauh lebih singkat dibanding BOD.
Walaupun sebenarnya BOD dan COD merupakan parameter yang berbeda, banyak juga orang yang salah kaprah dengan mengkonversi nilai COD dengan faktor pengali tertentu (biasanya sebesar 0,5) untuk memperoleh nilai BOD. Sebenarnya, faktor pengali 0,5 tersebut tidak berlaku untuk semua jenis limbah dan sangat berbeda antara satu IPAL dengan yang lainnya. Untuk memperoleh suatu faktor pengali (ummm, mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai rasio), perlu dilakukan sederetan pengukuran COD dan BOD kemudian dilihat kecenderungannya. Angka 0,5 (atau rasio BOD:COD sebesar 1:2) umumnya terjadi di IPAL yang mengolah limbah domestik. Nah, untuk IPAL industri rasionya bisa jauh berbeda dan sangat bervariasi antara industri yang satu dengan yang lainnya sehingga rasio 1:2 tidak dapat menjadi patokan.

3. Total Organic Carbon (TOC)
TOC merupakan parameter yang menyatakan jumlah total karbon organik (oke, dari kepanjangannya sudah cukup jelas bukan?). Berbeda dengan COD dan BOD yang mengukur jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi zat-zat organik, TOC mengukur jumlah karbon yang berasal dari senyawa organik. Jadi, karena merupakan hal yang berbeda, analisis TOC tidak dapat digunakan untuk memperoleh nilai BOD maupun COD. Analisis TOC dapat dipakai untuk menggantikan analisis BOD maupun COD hanya apabila tersedia data valid yang menunjukkan hubungan antara keduanya. Dalam hal ini, analisis TOC hanya berfungsi sebagai proses kontrol karena memiliki beberapa keunggulan dibanding BOD dan COD. Keunggulan analisis TOC diantaranya waktu analisis yang lebih singkat (hanya 5 hingga 10 menit) serta saat ini telah banyak di pasaran alat-alat TOC analyser yang dapat mengukur TOC secara kontinyu.

4. UV-absorbing Organic Constituents
Zat-zat organik tertentu di dalam air limbah memiliki kemampuan yang tinggi dalam penyerapan sinar UV (ultraviolet). Zat-zat tersebut antara lain humus, lignin, tannin, dan berbagai senyawa aromatic lainnya. Analisis UV-absorbing organic constituents disebut juga sebagai UV254nm. Hal ini karena pembacaan pada spektrofotometer dilakukan pada panjang gelombang 254nm yang termasuk ke dalam panjang gelombang sinar UV. Contoh penggunaan analisis UV254nm adalah di industri penyamakan kulit untuk menganalisis kandungan tannin. Hal ini disebutkan di dalam satu publikasi yang dapat dilihat di sini.
POSTED BY MUTI ON AUGUST - 23 - 2011 PARAMETER AIR LIMBAH
Pada postingan sebelumnya, saya menulis sedikit informasi tentang sludge bulking. Kali ini saya ingin berbagi informasi mengenai metode untuk mengontrol/mengatasi sludge bulking. Dalam mengatasi sludge bulking ada dua pendekatan yang bisa kita gunakan, non-spesifik dan spesifik.
Metode pengontrolan sludge bulking non-spesifik
Beberapa metode pengontrolan non-spesifik antara lain pengaturan debit RAS (return activated sludge), penambahan bahan kimia, dan desinfeksi. Metode non-spesifik ini bersifat sementara, maksudnya fenomena bulking dapat terjadi apabila perlakuan-perlakuan tersebut sudah tidak dilakukan lagi.
1.      Pengaturan debit RAS (return activated sludge).
Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan debit RAS untuk mencegah solid wash out ke saluran efluen.
2.      Penambahan bahan kimia untuk meningkatkan laju pengendapan solid.
Bahan kimia yang digunakan biasanya dari kelompok polimer. Polimer dapat membantu proses pengendapan solid seperti halnya pada proses koagulasi-flokulasi. Namun, karena harganya yang mahal, penggunaan polimer biasanya digunakan hanya pada situasi darurat.
3.      Pemberian desinfektan untuk membasmi organisme filamentous.
Desinfektan yang paling umum digunakan adalah klorin. Pemberian dosis klorin harus dilakukan secara tepat sehingga dapat membasmi mikroorganisme filamentous namun tidak membahayakan organisme-organisme pembentuk flok.
Metode spesifik
Dalam mengaplikasikan metode-metode spesifik untuk mengatasi sludge bulking, diperlukan pengetahuan dalam penyebab sludge bulking itu sendiri. Beberapa penyebabnya antara lain kurangnya nutrien, konsentrasi oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) yang rendah, dan konfigurasi tangki aerasi.
1.      Kurangnya nutrien
Di dalam proses activated sludge (dan proses pengolahan biologi lainnya), dua sumber nutrien yang utama (makronutrien) yaitu nitrogen (N) dan phosphorus (P). Secara umum, rasio makronutrien yang digunakan adalah 100:5:1 (BOD:N:P) sehingga apabila rasio N atau P kurang dari ini maka dapat kita katakan bahwa terjadi defisiensi nutrien di dalam proses. Kita dapat mengetahui rasio ini dengan analisis kimiawi air limbah (analisis nilai BOD, konsentrasi N dan P) atau dengan analisis mikrobiologi. Dengan analisis mikrobiologi, sludge bulking akibat kurangnya nutrien ditandai antara lain dengan adanya mikroba filamentous tipe 021N (Thiothrix spp., S. natans, H. hydrossis, dan N. limicola III), penampakan activated sludge yang viscous, dan foam pada clarifier maupun tangki aerasi yang mengandung material eksoseluler dalam jumlah yang signifikan.
Untuk mengatasi bulking akibat defisiensi nutrien tentunya dengan memenuhi kebutuhan nutrien itu sendiri. Rasio 100:5:1 dapat digunakan sebagai acuan karena penambahan nutrien juga tidak boleh berlebihan agar tidak terjadi toksifikasi pada sistem. Perlu diperhatikan bahwa kebutuhan makronutrien dapat dipengaruhi oleh temperatur dan umur lumpur (sludge age). Pada temperatur yang rendah kebutuhan makronutrien akan lebih tinggi. Sistem dengan umur lumpur yang panjang akan memerlukan makronutrien lebih sedikit karena terdapat resirkulasi makronutrien akibat adanya lisis. Pemantauan konsentrasi N dan P di dalam tangki aerasi tidak kalah pentingnya dengan pemantauan pada efluen.
2.      Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut
Untuk setiap rasio F/M yang digunakan, rendahnya DO dapat memicu pertumbuhan organisme filamentous penyebab sludge bulking. Dari www.dec.ny.gov disebutkan bahwa secara umum, untuk rasio F/M hingga 0.5 konsentrasi DO sebesar 2 mg/L perlu dijaga. Kita tentu tidak mau menambahkan oksigen terlalu banyak ke dalam tangki karena biaya operasionalnya akan menjadi sangat tinggi.
Masalah bulking akibat rendahnya DO ini bisa menjadi sangat tricky karena berkaitan erat dengan rasio F/M. Kebutuhan oksigen di dalam tangki meningkat bersamaan dengan meningkatnya rasio F/M. Jika kita tidak dapat meningkatkan konsentrasi DO, maka kita harus menurunkan rasio F/M dengan cara meningkatkan konsentrasi MLSS (memperbesar faktor M – mikroorganisme). Akan tetapi, menurunkan F/M dapat berakibat pada peningkatan MCRT yang berakibat pada meningkatnya kebutuhan oksigen untuk respirasi endogenous. Apabila masalah seperti ini ditemukan, maka cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi bulking adalah tetap mengoperasikan pada DO rendah dan melakukan klorinasi untuk membasi organisme filamentous. Hal lain yang dapat dilakukan yaitu dengan penggunaan selector.
3.      Konfigurasi tangki aerasi
Sistem yang dioperasikan secara kontinyu dan teraduk secara sempurna (completely mixed) biasanya memiliki karakteristik pengendapan yang lebih rendah dibandingkan sistem yang dioperasikan secara intermiten atau yang memiliki tangki aerasi dengan kompartemen-kompartemen. Mengapa demikian? Karena pada sistem yang tercampur sempurna akan terjadi pencampuran antara influen dengan RAS (return activated sludge) yang menciptakan influen dengan konsentrasi yang tinggi. Mikroba penyebab bulking (pin-floc organism) memiliki kemampuan bioadsorpsi yang tinggi sehingga mereka akan “menghabiskan” substrat terlebih dahulu dan memenangkan kompetisi pertumbuhan dengan mikroorganisme lainnya. Untuk mengatasi hal ini biasanya dipasang selector.
Konfigurasi tangki aerasi dengan selector memungkinkan mikroorganisme pembentuk flok untuk tumbuh dan mncegah pertumbuhan mikroorganisme-mikroorganisme penyebab bulking. Pemasangan selector pada tangki aerasi sebenarnya melakukan pembagian zona pada tangki dan melakukan modifikasi konsentrasi oksigen pada zona-zona tersebut.
Nah, semoga informasi di atas memberi pencerahan untuk mereka yang ingin mengetahui cara-cara mengatasi sludge bulking.
Informasi yang saya tulis di atas saya peroleh dari sumber-sumber berikut:
1. Richard, M. G., Daigger, G. T., & Jenkins, D. (2004). Manual on the causes and control of activated sludge bulking, foaming, and other solids seperation problems [3rd ed, pp 77-130]. doi: 10.1201/9780203503157.ch4
POSTED BY MUTI ON AUGUST - 16 - 2011 SECONDARY TREATMENT
Video lagi…
Kali ini saya tampilkan video mengenai MBBR yang saya ambil dari waterworld.com
Eits, jangan salah…MBBR di sini tidak ada hubungannya dengan MBR (membrane bioreactor). Yang dimaksud MBBR di sini yaitu Moving Bed Biofilm Reactor. MBBR ini termasuk dalam kelompok attached growth reactor, yaitu reaktor dimana mikrobiologi tumbuh di permukaan media tertentu kemudian membentuk lapisan film yang berfungsi sebagai semacam filter untuk air limbah. Media yang ditampilkan dalam video ini terbuat dari plastik. Plastik yang bukan sembarang plastik, tetapi plastik yang bentuknya didesain sedemikian rupa sehingga menyediakan luas permukaan yang besar untuk tumbuhnya mikroba. Contoh attached growth reactor lainnya misalnya trickling filter dan rotating biological contactor (RBC). Yang menarik dari MBBR yaitu operasionalnya dapat digabungkan dengan lumpur aktif konvensional (conventional activated sludge, CAS) untuk meningkatkan performa sistem yang telah ada.
POSTED BY MUTI ON JULY - 18 - 2011 SECONDARY TREATMENT
Sludge bulking adalah suatu kondisi dimana solid sukar untuk mengendap sehingga proses pemisahan solid dan liquid menjadi sangat sulit. Pada kondisi seperti ini maka solid dapat terbawa ke saluran efluen dan menyebabkan penurunan kualitas efluen. Sludge bulking merupakan salah satu masalah utama yang ditemukan pada sistem lumpur aktif.
Mengapa Sludge Bulking Menjadi Masalah?
Masalah utama dari sludge bulking yaitu penurunan kualitas efluen akibat tingginya konsentrasi solid di aliran efluen. Selain itu, akibat solid yang susah mengendap maka penetapan resirkulasi lumpur pada sistem (return activated sludge, RAS) juga akan menjadi sulit. Hal ini dapat mengganggu proses kontrol pada sistem lumpur aktif
Apa Yang Menyebabkan Terjadinya Sludge Bulking?
Penyebab utama sludge bulking adalah tumbuhnya koloni mikroorganisme  berfilamen (filamentous microorganisms). Mikroorganisme dari kelompok ini memiliki karakteristik dimana koloninya sulit untuk membentuk flok. Padahal, proses pembentukan flok-flok dari bakteri sangat penting dalam pengendapan solid.
Penyebab lain yaitu kurangnya nutrien (baik nitrogen maupun phosphorus) sehingga mikroorganisme menjadi stress dan memproduksi lipopolisakarida secara berlebih. Produksi lipopolisakarida pada dinding sel bakteri yang berlebihan dapat menyebabkan terbentuknya lapisan lender (slime) sehingga flok sulit untuk mengendap akibat densitasnya menjadi rendah. Sludge bulking akibat terbentuknya slime disebut juga dengan istilah slime bulking atau viscous bulking.
Ada juga bulking yang disebabkan oleh terbentuknya pin floc. Pin floc merupakan flok yang berukuran sangat kecil (diameter <50mm). Pin floc terbentuk antara lain akibat rasio F/M yang sangat rendah, umur lumpur yang terlalu lama, atau toksisitas berkepanjangan.
Bagaimana Cara Mengetahui Sludge Bulking?
Selain dengan pengamatan visual, fenomena sludge bulking juga dapat diketahui dengan mengukur sludge volume index (SVI). SVI merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui kemampuan pengendapan solid. Analisis SVI dilakukan dengan cara mengendapkan 1 liter air limbah yang berasal dari tangki aerasi selama 30 menit di dalam gelas ukur. Volume lumpur yang dapat mengendap kemudian diukur dan nilai SVI-nya dihitung menggunakan rumus:
http://www.owp.csus.edu/images/glossary/sludge-vol-index.gif
Nilai SVI > 150 biasanya perlu perhatian khusus. Akan tetapi, karena karakteristik air limbah di tiap instalasi berbeda-beda maka nilai SVI pun dapat berbeda antara limbah yang satu dengan yang lainnya.
Sumber:
POSTED BY MUTI ON JUNE - 30 - 2011 SECONDARY TREATMENT
I got this article couple of months ago from an online magazine. This is a good reference for those who are working with membrane bioreactor. The PDF version of this article can be downloaded here .
Knowledge
Principle
A practical consideration
Membrane bioreactor (MBR)
This process is a combination of biological treatment (activated sludge) and membrane filtration (instead of a clarifier).
An MBR can satisfy the needs of activated sludge treatment, including biological nutrient removal, without worrying about settling issues.
Membrane
A thin sheet of porous material. The porous medium is configured to provide highly efficient filtration of mixed liquor.
The pore size on this “filter” for most MBRs is 0.04 to 0.2 μm (microns).
Membrane configurations
Membranes may be configured in several ways, including
  • hollow fiber (looks like spaghetti),
  • flat plate (membrane sheets), and
  • disk (new).
Fibers and plates generally hang suspended in the mixed liquor, and the air scour causes movement of the media and cleaning. Disks are semirigid and may not require as much air for cleaning.
Micron (μm)
1/1,000,000 of a meter or 1/1000 of a millimeter
The pore size for the filters used in bacteriological analyses is 0.45 μm. (Most membranes will prevent the passage of bacteria.)
Pore size
Pore size is the average opening (pore) in the membrane. Most MBRs are in the range of ultrafiltration.
Ranges of relative pore sizes for filtration area include
  • sand filtration — 1 to 10 μm;
  • microfiltration — 0.1 μm;
  • ultrafiltration — 0.01 μm;
  • nanofiltration — 0.001 μm; and
  • reverse osmosis — 0.0001 μm.
Flux
Flux is the throughput of the membrane. It is based on rate of flow per unit of surface area, per unit time.
The typical range for flux rate may be 370 to 775 L/m2•d (9 to 19 gal/ft2•d). The effective surface area varies based on the membrane configuration.
Transmembrane pressure (TMP)
TMP expresses the pressure differential between the outside and inside of the membrane, similar to head loss.
A rise in TMP indicates an increase in fouling (clogging pores) or an increase in flux rate (throughput).
Basics of operation
To ensure best operation of the MBR system, some unique operations will be needed, including
  • using 1- to 3-mm fine screening;
  • maintaining 8- to 20-day sludge age;
  • operating at high mixed liquor suspended solids (MLSS) concentrations (8000 to 15,000 mg/L); and
  • sustaining a high return activated sludge (RAS) flow, about 2 to 4 Q.
    • Good screening will remove materials that could harm the membranes.
    • Membrane filtration enables the use of higher sludge age and MLSS needed for nutrient reduction without the risk of high effluent total suspended solids.
    • The membrane tank is, in effect, a dead end for solids; therefore, the RAS rate will be higher than for a normal activated sludge process.
Membrane cleaning
Just as filters must be backwashed to remove solids from the media, membranes require similar actions, including
·        air scour,
·        resting mode (or back-pulse),
·        clean-in-place, and
·        chemical cleaning.
All membranes require one or more of the cleaning methods. Cleaning methods vary with configuration and membrane type.
Typical results
Parameter performance
BOD: <2 mg/L
TSS: <0.5 mg/L
NH3–N: <0.5 mg/L
TN: <3 mg/L
TP: <0.05 mg/L
Turbidity: <0.2 NTU
Fecal coliform: <10 CFU per 100 mL
Note that reduction of nitrogen and phosphorus will depend on proper operation of specific nutrient removal processes.
Even though most membranes will filter out fecal coliform, disinfection is required by regulatory authorities.
Motive force
Some MBR systems will require a reduction in the downstream pressure to achieve the necessary flux rate. This force can be from
·        pump suction,
·        vacuum assist, or
·        gravity.
MBR systems may require pumps, vacuum systems, or gravity to force the liquid to flow through the tiny pores. The amount of force needed will vary with configuration and system type.
Associated operational issues and limitations
Operators should consider the following issues when working with MBRs:
·        stormwater flow control,
·        membrane monitoring and cleaning, and
·        equipment maintenance.
·        High flows will require flow leveling, equalization, or a scalping operation.
·        Membranes will age and require various cleaning methods and eventual replacement.
·        An MBR’s support systems will require additional monitoring and maintenance.
POSTED BY MUTI ON APRIL - 3 - 2011 SECONDARY TREATMENT
Pada postingan sebelumnya saya menulis tentang penelitian di India yang mengaplikasikan reaktor UASB dalam pengolahan limbah pewarna tekstil. Sebenarnya UASB itu reaktor seperti apa sih? Nah, kali ini saya akan berbagi informasi mengenai reaktor yang satu ini.
UASB merupakan singkatan dari Upflow Anaerobic Sludge Blanket. Dari namanya kita sudah bisa mengetahui bahwa reaktor ini merupakan reaktor anaerob, a.k.a pada operasinya pengolahan limbah dibantu dengan bakteri-bakteri anaerob. Menurut Dictionary of Food Science and Technology, UASB merupakan reaktor dimana pengolahan secara anaerob dilakukan oleh mikroorganisme yang membentuk flok tersuspensi di bagian bawah reaktor.
Air limbah masuk dari bagian bawah reaktor lalu dialirkan secara vertikal ke atas. Air limbah pertama-tama akan melewati suatu lapisan yang dinamakan sludge bed. Pada lapisan ini air limbah yang masuk akan mengalami kontak dengan mikroba anaerob yang berbentuk granula (pellet) yang menyusun sludge bed tersebut. Biogas yang terbentuk dari metabolisme anaerob akan bergerak ke atas dan mengakibatkan terjadinya proses vertical mixing di dalam reaktor. Dengan demikian, tidak diperlukan alat mekanik untuk pengadukan di dalam reaktor.
Pada bagian atas reaktor terdapat dua jenis saluran, yaitu saluran untuk mengeluarkan limbah hasil olahan (efluen) serta saluran untuk mengeluarkan biogas. Karena gas dan efluen bergerak ke atas, maka diperlukan suatu struktur untuk menahan granula agar tidak ikut terbawa ke aliran efluen. Struktur inilah yang dinamakan Gas-Liquid-Solid separator (GLSS).
Sumber: www.uasb.org/discover/agsb.htm
Menurut Anh (2004), GLSS merupakan bagian penting dari UASB karena memiliki fungsi sebagai berikut:
·    Mengumpulkan, memisahkan, dan mengeluarkan biogas yang terbentuk
·    Mengurangi turbulensi di dalam kompartemen pengendapan yang terjadi akibat pembentukan gas
·    Memungkinkan terjadinya pemisahan lumpur secara sedimentasi, flokulasi, atau terperangkap di dalam sludge blanket
·    Membatasi ekspansi sludge bed
·    Mencegah terjadinya wash-out lumpur (terbawanya lumpur ke aliran efluen)
Sumber:
1.      Anh, Nguyen Tuan,(2004).Methods for UASB Reactor Design.Guest Article by Nguyen Tuan Anh. (http://www.waterandwastewater.com/www_services/ask_tom_archive)
2.      International Food Information Service (2009). Dictionary of Food Science and Technology (2nd Edition). (pp: 438).  International Food Information Service (IFIS Publishing).
POSTED BY MUTI ON JANUARY - 24 - 2011 SECONDARY TREATMENT
Limbah dari industri pewarna tekstil merupakan salah satu sumber toksik terbesar di India. Pencemaran badan air oleh limbah pewarna berikut proses degradasi warna yang terjadi di badan air dapat mengganggu kehidupan biota air. Tiga peneliti dari Departement of Civil Engineering dan Departement of Chemical di Annamalai University di India melakukan riset untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam riset yang dilakukan, air limbah pewarna tekstil diolah menggunakan reaktor (pilot scale) Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) dua tahap dengan memanfaatkan limbah sagu sebagai ko-substrat.
Tahap pertama dari reaktor UASB yang digunakan merupakan reaktor asidogenik sementara tahap kedua merupakan reaktor metanogenik. Reaktor asidogenik dan metanogenik yang digunakan memiliki perbandingan kapasitas volume 1:4. Tujuan penggunaan dua tahap ini adalah untuk memantau operasional dan karakter performa dari UASB. Air limbah pertama-tama dialirkan ke dalam reaktor asidogenik yang memiliki diameter internal 300 mm dan tinggi 820 mm. Setelah itu, air limbah dialirkan ke reaktor kedua, yaitu reaktor metanogenik yang berdiameter internal 350 mm dan tinggi 2400 mm.  Bakteri yang digunakan di dalam reaktor UASB berasal dari reaktor anaerobic sludge digester dari pengolahan limbah sagu. Skema pengolahan dapat dilihat pada gambar 1.
Sumber: M. Senthilkumar, et al (2011)
Sumber: M. Senthilkumar, et al (2011)
Pada bagian atas dari reaktor metanogenik terdapat struktur yang dinamakan Gas-Liquid-Solid Separator (GLSS) yang berfungsi untuk memisahkan biogas, solid, dan liquid. Dengan adanya struktur ini biogas dan air hasil olahan akan keluar dari dalam reaktor sementara solid akan tetap di dalam reaktor membentuk sludge blanket. Di dalam struktur GLSS pada reaktor yang digunakan dalam riset ini, disediakan media yang terbuat dari spiral-spiral PVC berukuran 26 mm. Media yang disusun hingga setebal 200mm pada ketinggian 1770 mm dari dasar reaktor berfungsi sebagai media tumbuh biomassa serta bermanfaat sebagai filter yang dapat meningkatkan kualitas efluen.
Pencampuran air limbah pewarna tekstil dan sagu dilakukan dalam lima kombinasi, yaitu 90:10, 80:20, 75:25, 70:30, dan 65:35. Keuntungan yang diperoleh dari kombinasi kedua limbah ini adalah karena adanya proses penetralan pH sehingga tidak diperlukan penambahan kaustik maupun kapur. Selain itu, kandungan zat tepung di dalam limbah sagu dapat mengurangi kebutuhan penambahan nutrien selama proses pengolahan. Karakteristik air limbah pewarna tekstil dan sagu dapat dilihat pada Tabel 1 yang merupakan rata-rata dari sepuluh sampel yang dikumpulkan selama tiga bulan.Hydraulic retention time (HRT) yang digunakan pada reaktor asidogenik adalah selama 6 jam, sementara pada reaktor metanogenik selama 24 jam. Hal ini mengikuti perbandingan volume antara kedua reaktor sebesar 1:4.
Sumber: M. Senthilkumar, et al (2011)
Sumber: M. Senthilkumar, et al (2011)
Hasil riset dari pengolahan limbah pewarna tekstil dapat dilihat pada Tabel 2.
Sumber: M. Senthilkumar, et al (2011)
Sumber: M. Senthilkumar, et al (2011)
Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa efisiensi penyisihan maksimum untuk COD dan warna adalah sebesar 88.5 dan 91.8 persen yaitu pada rasio limbah pewarna dan sagu sebesar 70:30. Pada rasio optimum ini diperoleh rasio VFA/alkalinitas sebesar 0.04 yang mengindikasikan bahwa reaktor bekerja dalam kondisi yang stabil.
Sumber:
M. Senthilkumar, G. Gnanapragasam, V. Arutchelvan, S. Nagarajan, Treatment of textile dyeing wastewater using two-phase pilot plant UASB reactor with sago wastewater as co-substrate, Chemical Engineering Journal, Volume 166, Issue 1, 1 January 2011, Pages 10-14.
POSTED BY MUTI ON JANUARY - 23 - 2011 AIR LIMBAH INDUSTRI SECONDARY TREATMENT
Membrane bioreactor (MBR) merupakan suatu sistem pengolahan air limbah yang mengaplikasikan penggunaan membran yang terendam di dalam bioreaktor. Proses yang terjadi di dalam bioreaktor mirip dengan lumpur aktif konvensional (conventional activated sludge, CAS), di mana zat organic di dalam air limbah akan didegradasi secara biologis oleh mikroorganisme aerob kemudian terjadi pemisahan solid (lumpur). Bedanya, pada MBR proses pemisahan solid dilakukan menggunakan membran sementara pada CAS pemisahan solid dilakukan secara gravitasi di dalam tangki pengendap. Perbandingan antara MBR dengan CAS  dapat dilihat pada gambar berikut:
CAS vs MBR
Sumber: Li, Norman N.; Fane, Anthony G.; Ho, W.S. Winston; Matsuura, T. (2008)
Beberapa fitur utama dari MBR antara lain:
1.       Tidak memerlukan bak pengendap (clarifier) sehingga dapat menghemat penggunaan lahan
2.       Konsentrasi MLSS (mixed liquor suspended solids) yang tinggi dapat memaksimalkan jumlah BOD yang masuk ke dalam modul MBR untuk diolah sehingga dapat mengurangi waktu pengolahan
3.       Pembuangan lumpur dapat dilakukan langsung dari dalam reaktor
4.       Kualitas efluen hasil pengolahan yang tinggi sehingga air hasil olahannya dapat digunakan kembali (misal untuk boiler)
Penggunaan modul MBR dalam pengolahan air limbah saat ini cukup luas di negara-negara dimana faktor ketersediaan lahan dan konservasi air menjadi pertimbangan. Bagi negara-negara yang lahannya terbatas, teknologi ini akan sangat menguntungkan. Begitu pula jika di tempat tersebut terdapat keterbatasan dalam sumber daya air, hasil olahan dari MBR dapat digunakan sebagai sumber air (contohnya di Singapura). Di Indonesia sendiri tampaknya teknologi membran belum terlalu banyak digunakan mengingat ketersediaan lahan dan sumber air masih bisa dibilang cukup banyak.
Akan tetapi, jika kita memikirkan kondisi di masa datang dimana pertumbuhan penduduk semakin meningkat dan lahan akan semakin mahal, maka teknologi MBR mungkin sebaiknya mulai diterapkan. Memang MBR memiliki kelemahan dari segi harga, teknologi membran memang bukan teknologi yang murah. Selain harganya yang mahal, juga diperlukan operator yang terlatih (berdampak pada upah pekerja yang lebih tinggi). Dari segi operasional, akan diperlukan regular chemical cleaning serta laju kerusakan membran tidak dapat dipastikan.
Kondisi yang diperlukan untuk modul MBR
Modul MBR yang akan digunakan harus memiliki kelebihan dari sisi cost reduction (baik investasi maupun operasional), usia pakai yang cukup lama, serta mudah ditangani. Berikut ini kondisi-kondisi yang penting untuk diperhatikan dalam penggunaan modul MBR:
1.       Kuat menahan beban fisik (akibat aerasi) maupun kimiawi (akibat proses pembersihan dengan bahan kimia).
2.       Struktur membran haruslah kuat untuk mengatasi gaya gesekan dan osilasi dari gelembung udara dari proses aerasi.
3.       Aerasi harus efektif dan uniform serta aliran vertikal gelembung udara dari bawah ke atas membran harus berlangsung tanpa hambatan.
Konfigurasi MBR
Terdapat dua konfigurasi MBR yang tergantung pada letak membran terhadap bioreaktor, yaitu submerged MBR dan sidestream MBR.
Sumber: Malia dan Till (2001)
Sumber: Malia dan Till (2001)
Pada submerged MBR, membran terletak di dalam bioreaktor sehingga proses filtrasi langsung dilakukan di dalam reaktor. Sementara itu, pada sidestream MBR proses filtrasi dilakukan di luar bioreaktor melalui aliran resirkulasi. Perbandingan antara kedua konfigurasi MBR dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 : Perbandingan Submerged MBR dan Sidestream MBR
Submerged MBR
Sidestream MBR
Biaya aerasi
Tinggi
Rendah
Biaya pemompaan
Sangat rendah, kecuali jika digunakan pompa hisap
Tinggi
Ukuran (footprint)
Lebih besar
Lebih kecil
Kebutuhan untuk proses pembersihan
Lebih sedikit
Lebih tinggi
Biaya operasional
Lebih rendah
Lebih tinggi
Biaya investasi
Lebih tinggi
Lebih rendah
Sumber: Malia dan Till (2001)
Referensi :
Li, Norman N.; Fane, Anthony G.; Ho, W.S. Winston; Matsuura, T. (2008). Advanced Membrane Technology and Applications. (Chapter 5 & 9).  John Wiley & Sons.
Malia, H. dan Till, S. (2001). Membrane Bioreactors: Wastewater Treatment Applications To Achieve High Quality Effluent. (http://www.wioa.org.au/conference_papers/2001/pdf/paper8.pdf)
POSTED BY MUTI ON JANUARY - 20 - 2011 SECONDARY TREATMENT
Secondary clarifier merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem activated sludge. Bagian ini berperan dalam proses pemisahan lumpur dari limbah yang telah diolah di dalam reaktor biologi. Ada lima parameter yang paling berpengaruh terhadap performa secondary clarifier, yaitu:
1. konsentrasi MLSS yang masuk ke clarifier,
2. debit air limbah,
3. debit resirkulasi system activated sludge,
4. luas permukaan clarifier, dan
5. kemampuan mengendap lumpur.
Keempat parameter pertama mempengaruhi SLR (solid loading rate) clarifier. SLR menyatakan jumlah solid per satuan luas permukaan clarifier per hari. SLR dihitung dengan rumus:
SLR = (Qww + QRAS) x (MLSS) x (conversion factor/SA)
SLR = solids loading rate , kg/m2.hari
Qww = debit air limbah, m3/hari
QRAS = debit resirkulasi sistem activated sludge, m3/hari
MLSS = konsentrasi MLSS , mg/L
SA = luas permukaan clarifier, m2
Conversion factor = (0.0001 kg/m3) / (mg/L)
Ketebalan lumpur (sludge blanket) juga harus diperhatikan. Kedalaman sludge blanket sebaiknya diukur setidaknya satu hingga tiga kali sehari. Lapisan lumpur yang terlalu tinggi akan mempengaruhi kualitas efluen. Hal lainnya yang perlu diperhatikan yaitu debit resirkulasi (return activated sludge, RAS). Jika tidak ada lumpur yang diresirkulasi ke reaktor biologi maka akan terjadi penumpukan lumpur dan pada akhirnya dapat keluar ke efluen. Dengan kata lain hasil pengolahan akan sia-sia.
Sebaliknya, jika debit resirkulasi terlalu tinggi akan menyebabkan lumpur tidak sempat mengendap di dalam clarifier. Hal ini akan menghilangkan esensi pengolahan, tidak ada solid yang diendapkan. Debit resirkulasi biasanya ditentukan sebagai persentasi debit air limbah yang masuk ke dalam tangki aerasi.
Pada sistem yang memiliki MCRT pendek dan produksi lumpur sedikit, debit RAS biasanya 25 hingga 50 persen dari debit air limbah (30-40% paling umum). Untuk sistem dengan MCRT yang lebih panjang dan produksi lumpur yang relative banyak, debit RAS dapat mencapai 100-150% dari debit air limbah yang masuk ke tangki aerasi.
Referensi: Water Environment Federation (2008). Operation of Municipal Wastewater Treatment Plants – MOP 11, (6th Edition).. WEF +  McGraw-Hill.
POSTED BY MUTI ON OCTOBER - 25 - 2010 SECONDARY TREATMENT
Sebagai lanjutan dari postingan sebelumnya, kali ini saya akan menjabarkan cara mengontrol prosesactivated sludge dengan melakukan pemantauan konsentrasi oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO). Memantau konsentrasi DO sudah pasti sangat berkaitan dengan aerasi. Aerasi yang dimaksud di sini mencakup suplai oksigen serta metode pelarutan oksigen ke dalam sistem activated sludge (mixing).Mixing dapat dilakukan dengan berbagai cara. Akan tetapi, dalam sistem activated sludge selalu diperlukan aerasi secara mekanik karena laju aliran gas oksigen murni yang masuk ke dalam sistem terlalu lambat sehingga sulit untuk menyeragamkan konsentrasi di dalam tangki (lihat juga postinganAerasi Di Dalam Pengolahan Limbah Cair).
Sebagai rule of thumb, kebutuhan oksigen dikatakan terpenuhi apabila konsentrasi DO di dalam reaktor biologi mencapai minimal 2 mg/L. Memang hal ini bisa saja berubah, tergantung kondisi limbah masing-masing instalasi. Saat konsentrasi DO berada di bawah nilai optimalnya, indikator pertama adalah munculnya bakteri berbentuk filamen dalam jumlah yang signifikan di dalam tangki aerasi. Komposisi mikroba akan didominasi oleh bakteri jenis ini sehingga mempengaruhi kemampuan lumpur untuk mengendap. Selama lumpur masih dapat dipisahkan dari efluen (di clarifier) maka masalah masih dapat diatasi dengan “membasmi” bakteri filamentous tersebut. Jika konsentrasi DO terus menurun, maka pertumbuhan bakteri filamen akan semakin meningkat lagi. Kondisi lanjutan seperti ini dapat menurunkan efisiensi pengolahan karena efluen akan menjadi keruh. Pada kondisi yang lebih parah, lumpur dapat berubah warna menjadi kehitaman dan akan muncul bau busuk akibat kondisi tangki yang telah berubah menjadi anaerob.
Pengamatan visual merupkan indikator yang baik, akan tetapi akan lebih baik lagi jika pemantauan konsentrasi DO dan kualitas efluen dilakukan sebagai tindakan pencegahan. Perlu diingat, peralatan yang dipakai untuk pemantauan DO tidak bisa diremehkan. Selalu gunakan alat ukur yang terawat dengan baik, bersih, dan rutin dikalibrasi untuk menjamin akurasi pengukuran. Memberi aerasi semaksimal mungkin memang akan menjamin tersedianya oksigen di dalam tangki. Namun, hal ini akan berdampak besar pada tingginya biaya operasional instalasi.
Referensi: Water Environment Federation (2008). Operation of Municipal Wastewater Treatment Plants – MOP 11, (6th Edition).. WEF + McGraw-Hill.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar